top of page
Search
  • Writer's picturetarlingisdarling

TARLING memang DARLING

Jika kamu menyukainya, kenapa tidak menyebutnya Darling

Halo Mas Ismail, Terima kasih atas akses yang diberikan untuk menonton film Tarling is Darling. Setelah sebulan memproses beberapa material termasuk film buatan Mas Ismail, saya memiliki sedikit pertanyaan. Sebetulnya, hal yag membuat saya paling penasaran adalah 2 hal: kenapa dangdut, terutama dangdut tarling,

Pertama kali saya dengar musik itu saat saya membuat film Masked Monkey (Topeng Monyet), kebetulan hampir seluruh pekerja dan majikannya mereka yang berasal dari Indramayu dan Cirebon yang tinggal di Jakarta. Mereka suka memutarkan lagu Tarling Dangdut itu agar monyet beratraksi. Dari situ saya suka musik itu, walaupun saya tidak tahu artinya. Saat itu saya sudah putuskan harus membuat film tentang Dangdut Tarling, dan akan datang ke Indramayu.

Note: Banyak yang alergi dengan musik yang satu ini, walaupun saya penggemar musik rock dan Metal, bahkan juga sempat belajar musik klasik, tapi ada sesuatu yang menarik dengan musik Dangdut Tarling ini.

Indonesia sebenarnya kaya akan musik, terutama Dangdut. Ada banyak jenis nya, Dangdut Koplo (Jawa Timur- mengusung musik dari Reog/karena gendang dan hentakannya), Campur Sari (Jawa Tengah, pelan dan konstan seperti rytem gamelan Jawa Tengah), Tarling (Jawa Barat, Cantik, sexy dan menggoda, Lembut walaupun rytemnya agak cepat mengikuti gamelan, Suling dan Gendang Jaipongan ala Sunda). Dangdut Melayu (Riau-Pekan Baru, memakai unsur Accordion dan biola, jatuhnya berdendang, bukan berjoget atau goyang), Dangdut Ke Indiaan (Dengan gendang khas India/dangdut pentolannya Arafik, Elia Kadam), Dangdut Ke Araban, dan juga Dangdut Nasional (Rhoma Irama, karena memakai lirik bahasa Indonesia).

Dan saya setuju, Dangdut adalah musik ciri khas Indonesia, dan Tarling, Campur sari, dan Koplo adalah musik asli Indonesia yang berkembang sesuai jamannya, saya menyebutnya musik Kontemporer, yang berasal dari rytem gamelan. Saat ini mereka menggunakan Keyboard, dan saxophone, -mencampurkan tanpa merubah sifat aslinya. Kalau Jazz, pop, rock dan lainnya adalah musik Import. Artinya, Indonesia punya musik asli, kenapa ini tidak menjadi jati diri saja. Dan kebetulan saat itu saya baru menyukainnya. dan bagaimana Mas Ismail memulai riset sebelum produksi film ini. Riset disini lebih mengacu ke pertanyaan apa saja yang Mas Ismail ajukan dan kepada siapa? 

Kamu bisa bayangkan, film yang kamu tonton itu di Shooting oleh satu orang- tanpa Asisten/crew. Alasannya, karena saya tidak mampu bayar orang (asisten/crew langganan saya), karena uang dari kantong sendiri.

Ini bukan pertama kali saya lakukan, datang ke sebuah daerah tanpa mengenal daerah itu dan orang yang saya tuju. Jadi saya datang ke Indramayu pertama kali, langsung membawa peralatan untuk shooting. Saya lebih menyukai reserch sambil shooting. Keuntungannya adalah: Jika ada sesuatu hal, maka saya bisa langsung shooting, yang ke dua adalah, membiasakan mendatangi mereka dengan kamera, agar mereka nantinya terbiasa dengan kamera selanjutnya. Kerugiannya, memang shooting tidak terarah, dan juga shooting tidak terlalu sempurna, karena mereka masih banyak bertanya ke saya dan sebagainya, malu-malu dan sebagainnya. Tetapi banyak meteri yang bisa di pakai/baik saat reserch.

Satu minggu saya reserch dan membiasakan diri mereka dengan kamera, setelah saya cek hasil apa yang saya shoot, baru saya tahu apa yang saya akan bikin.

Dulu, saya terlalu banyak melihat di youtube, cukup jorok, sehingga itulah yang ada di benak saya. Tetapi ketika saya ada di sana, hampir tidak ada seperti itu. Itu hanyalah satu banding seratus. Tetapi ada hal yang menarik lainnya yaitu Indrustri musik itu sendiri. Saya menyebutnya Home Entertaiment Industri Kreatif. Bagaimana tidak ada 500'an studio rekaman di Indramayu, ada ribuan penyanyi, ada ribuan pimpinan/group, ada bayak sekali lagu yang tercipta, ada ratusan video klip yang mereka bikin, dan ada ratusan video klip yang tayang di TV lokal (Cirebon TV & Radar TV), di jual di VCD/CD di pasar-pasar dan sebagainya. Ada ratusan lebih panggung hajatan setiap kali musim panen. Artinya ini luar biasa sekali, perputaran uang banyak sekali, dan ini besar.

Mereka mencetak VCD/Video klip itu di Jakarta,disc itu datang ke mereka dengan gelondongan seperti kain gulung, lalu mereka masukan ke bungkus satu persatu, lalu edarkan dengan cara di jual di Panggung, berteman sama bajakan, lalu muncul di semua pasar di desa, kecamatan dan bahkan sampai luar Jawa.

Ini yang saya tidak lihat di daerah lain, termasuk Koplo dan Campur Sari. Dan Di Indramayu, panggung hanya ada ketika adanya hajatan kawinan dan sunatan. Karena itu, saat musim panen adalah uang banyak, saatnya hajatan dan panggung akan sibuk sekali.

Masuk ke Indramayu tidak mudah, 6 bulan saya di bohongi banyak orang, uang habis, dan sebagainya. Tidak ada yang percaya bahwa saya mau bikin film, karena banyak juga yang seperti itu, tapi ujung-ujungnya Modus, pacari penyanyi, kawini, lalu plorotin uangnya, diiming-iming sukses, lalu bawa kabur uang mereka. Ini lah yang mereka lihat saya waktu itu. Dan saya tidak kapok, sampai mereka bingung juga, saya balik lagi dan bersikap biasa saja sama mereka yang dulunya bohongi saya. Problem paling banyak adalah suami cemburu dan sebagainnya. Sampai suatu saat saya ketemu Jaham.

Melihat sosok dia saat itu seperti pandangan pertama, dengan gaya kacamata hitamnya (walaupun itu di malam hari), dengan rambut kuncirnya. Saya langsung bilang,...ini dia yang saya cari... Dan benar saja, dia musisi senior, dan dia cukup dikagumi juga di wilayah itu. Saya kenalan, dan mengutarakan niat bikin film, dia sempat bingung dan tanya,... "Kamu ini aneh, bukan orang sini, bukan mau modus cari cewek, istri dan keuntungan uang dari sini, kamu malah buang uang untuk memfilmkan ini semua. Apa kepentingan kamu membuat film ini?" Saya hanya jawab,"Saya hanya suka musiknya"

Lalu saya tinggal di rumah Jaham, seperti dalam film itu. Jadilah Jaham dan saya seperti keluarga sampai saat ini juga.

Saya juga harus menyampaikan bahwa saya cukup kagum karena Mas Ismail bisa mendokumentasikan momen-momen yang notabene cukup intim, seperti saat Kang Jaham mulai menulis lagu 20 nama Allah dalam posisi duduk mesra, ditemani bocah-bocah yang mengintip. Selain itu, ada juga momen kecemburuan istri dari Kang Jaham saat ada tamu yang datang untuk "belajar". Apakah ada sedikit cerita dibalik momen-momen ini yang dapat Mas Ismail sampaikan?

Saya selalu menyukai membuat film dengan tema apa saja, karena ada daya tarik saya untuk memahami mereka, memahami situasi, sosial dan sebagainnya. Karena itu yang saya cari bukan obyek untuk karakter dalam film saya, tetapi mencari teman baru, yang lalu saya jadikan karakter dalam film. Setelah film selesai kita terus berteman. Setelah film ini, yang dulunya saya tidak punya teman satu pun di Indramayu, sekarang saya punya ratusan teman di sana, dari berbagai profesi. Jadi yang kamu lihat di film itu adalah semuanya teman baru saya, termasuk para Kiyai itu.

Mungkin sifat memposisikan mereka sebagai teman ini yang membuat mereka kalau saya shooting tidak serasa di exploritasi. Bahkan mereka lah yang menghadirkan cerita dan moment buat saya. Contoh: Saat Kiyai telpon Jaham di suruh datang menemuinya, tentu saya tertarik. Bagaiman mungkin orang seperti Jaham, ada Kiyai yang mengundangnya ke pesantrennya. Lalu saya ikut dan tentu bawa kamera, siapa tahu menarik. Benar saja, ketika saya lihat Kiyai itu pertama kali, saya langsung shooting (Adegan Kiyai menyuruh bikin lagu) setelah saya shooting, barulah saya berkenalan sama Kiyai. Dan saya mengutarakan ketertarikan pada sosok Kiyai ini dan berharap, dia mau saya shooting prosesnya pemesanan lagu ini. Dan dia setuju.

Saya tidak menyangka, teman yang dimaksud Jaham sebagai teman yang tahu agama adalah Rere. Saya kira dia akan datang ke Kiyai lain untuk membantunya. Tetapi Jaham merasa malu. Masak sifat 20 Allah saja harus tanya Kiyai, nanti saya di ketawain sama Kiyai, kan sifat 20 Allah itu adalah hafalan anak kecil. Adegan Jaham bikin lagu sama Rere itu lama sekali, ada 3 jam lebih lamanya. Tentulah saya menghabiskan 3 jam durasi shooting. Tapi di editing hanya segitu yang di pakai karena durasi film. Saya kagum sama cewek itu, Rere. Dia jago Agamanya, ngajinya jago, lulusan sekolah Islam, dan dia buta Aksara (Tidak bisa menulis latin, hanya Arab), karena itu dia tuliskan dengan tulisan Arab. Hampir semua, mereka sekolah di sekolah Islam dan pesantren, kenapa? Karena gratis. Pastilah Agamnya, ngajinya Jago. Tapi sayang, setelah itu tidak ada banyak pekerjaan buat mereka, sehingga mereka mudah melakukan apa saja. Jadi yang dimaksud Jaham temannya yang Jago agama adalah Rere,..ya benar juga.

Anak-anak ngintip. Saya suka kejadian ini, serasa kita kecil pasti mengalaminya. Anak-anak suka mengintip, bahkan saat penyanyi ganti baju, manggung, mereka suka mengintip. Bagi anak-anak, mengintip bukan hal yang jorok, cuma rasa penasaran dan keasyikan mereka saja. Saya tahu mereka mengintip disaat saya keluar dari ruangan untuk cari angin sambil merokok, ketika saya lihat ternyata kita di intip dan langsung saya shooting mereka. Sebenarnya,.. mereka ingin berangkat belajar mengaji di mesjid samping lokasi itu.

Saat Vina datang ke rumah Jaham. Biasanya memang ada cewek yang datang belajar nyanyi. Tetapi kurang menarik buat saya karena gemuk dan jelek, tentulah tidak menjadi masalah bagi istrinya. Tetapi jika ceweknya Vina, pastilah akan menarik.

Sebenarnya saya sudah lihat Vina saat keluar dari mobilnya, saya saja kaget kok ada cewek montok di kampung Jaham. Dia sedang menelpon di mobil, lalu saya pulang ke rumah Jaham, dari situ saya sudah ambil kamera, untuk shooting dia. Saat dia datang ke rumah Jaham -saya shooting dari kejauhan, dan ternyata dai mendatangi rumah Jaham, saya kaget juga. Dan dia bertanya sama Istri Jaham, mencari Jaham. Tentu lah ini menarik dan ada apa ini. Saya ingin tahu selanjutnya. Istri Jaham ngomong sama saya dan saya seenaknya masuk rumah Jaham (Memang saya tinggal di situ), sehingga Vina melihat saya penghuni rumah Jaham. Jadi Vina tidak banyak tanya sama saya. Saat menunggu Jaham pulang saya melihat istrinya cemburu dan was-was, tentulah hal ini menarik buat saya. Saya sibuk memfilmkan istrinya. Saya hanya menduga, akan ada peristiwa istrinya dan Jaham nantinya. Ini yang saya tunggu. Saya kira istrinya akan ngamuk, ternyata tidak...tetapi dia pendam dengan expresi yang dasyat. Dan saya suka jawaban Vina,( Sudah Menikah?...Sudah,...Sudah pernah.), berarti Janda. Wah, Janda sangat di takuti di Indramayu bagi istri-istri yang masih bersuami.

Jaham itu orang yang menarik dan unik, saat Vina ke dua kali datang saja seperti itu, langsung ganti celana. Dan langsung sok Ganteng. Tapi istri selalu mengawasinya. Adegan itu cukup lama, dan saya memfilmkan semuanya, mondar mandir, dari dapur, ruang TV, depan rumah dan lainnya. Saya terus pantau perkembangan peristiwa ini. Saya hanya menduga, pasti ada sesuatu yang terjadi untuk membubarkan adegan ini. Cuma ada dua kemungkinan dalam benak saya, Vina mengiyakan ajakan Jaham belajar di luar, atau Istri akan marah-marah. Tetapi yang terjadi hanya satu piring yang di banting, dan semuanya bubar. Saya kagum, betapa hebatnya satu piring itu bisa membubarkan, pikiran jorok Jaham, kekawatiran Vina, belajar menyanyi, dan pikiran aneh penonton juga. Semua penonton menanyakan adegan ini. Saya hanya bilang, bahwa mereka lah yang menghadirkannya ke saya, saya hanya memfilmkan mereka saja.

Saya sempat mendengar bahwa proses produksi film ini adalah 3 tahun, seberapa lama kah yang didedikasikan untuk pengambilan gambar, dan seberapa lama yang dihabiskan untuk pendekatan ke para karakter yang Mas Ismail putuskan untuk didokumentasikan?

Ya 3 tahun, karena penuh dengan masalah. Selain saya datang dengan sendiri, berhadapan sama mereka, dan lainnya. Selama 3 tahun itu saya tinggal di rumah Jaham. Jadi yang saya shooting itu banyak sekali, tetapi yang ada di Film tidak lebih 1% dari keseluruhan yang saya shoot selama 3 tahun.

Begini, ini juga yang membuat lama. Saya research sambil memulai shooting. Jadi yang saya shooting itu adalah peristiwa-peristiwa, yang saya anggap menarik. Di benak saya sudah ada filter, ini penting, ini tidak. Jadi yang menarik bagi saya adalah semua hal yang berhubungan dengan kehidupan seorang seniman musik dalam sebuah Industri lokal. Mau itu melatih, bernyanyi, panggung dan semuanya yang berhubungan dengan, dan juga dampak dari istrinya,...adalah wajib saya shoot. Dan saya tidak tahu pasti jalan ceritanya. Bahkan, di editing barulah saya dan editor saya merakit peristiwa satu persatu sampai jadi film. Dan ini juga prosesnya setahun di Editing.

Ada sedikit bagian dari Tarling is Darling yang membahas kerjasama antara produser dangdut dan para pembajak. Pertanyaan saya terkait distribusi musik ini, apakah dangdut perlu video klip? Apa yang dihighlight di video-video tersebut? Banyak yang menjual musik dangdut dalam format MP3, yang kemudian bisa diputar dimana saja termasuk angkot. Apakah video klip berfungsi sebagai alat jual untuk para artis yang menonjolkan penampilan mereka?

Mereka adalah pelaku senior di sana. Awalnya saya juga bingung saat shooting, kemana arah pembicaraan mereka. Mereka ngobrol ngalar ngidul. Tetapi saat mereka membicarakan pembajakan saya tertarik. Saya coba pahami, dan menurut saya ada benarnya juga pendapat mereka. Artinya, sebenarnya mereka itu Home Entertaiment Industri Kreatif. Mereka yang mengarang lagu, mereka juga menyanyi, mereka juga memproduksinya, modalnya dari mereka, mereka juga yang membuat video klipnya, mereka juga yang mencari pembajaknya, lalu bagi keuntungan. Beda kalau penyanyi atau pengarang lagu lepas, di produksi oleh Lebel, dan diedarkan oleh distribusi. Ini pasti mereka tidak menyukai pembajak.

Tapi yang dibutuhkan dari mereka adalah distribusi. Dan pembajak adalah yang memiliki jaringan distribusi yang hebat, sampai ke desa pelosok (Karena kalau ada pekan pasar pasti ada penjual VCD bajakan dengan sepeda motornya), bahkanbisa sampai ke Papua. Kalau asli, hanya ada di kota besar dan untuk desa pastilah tidak ada, dan tidak mungkin mereka setiap hari ke kota besar, belum lagi harga mahal. Nah ini, tukang VCD dengan motornya mendatangi kampung dan jual di pasar mereka, otomatis mereka membeli yang itu saja, murah lagi. Cetak dengan kualitas jelek, jual harga miring, dan cepat laku karena murah. Abis bikin master kasih saja ke pembajak, dia gandakan, untung di bagi.

Dan ingat, di sana tiap tahun, penyanyi seperti Dewi Kirana selalu memunculkan Album. Belum lagi penyanyi lainnya yang selevel atau di bawah Dewi Kirana. Dan Dewi Kirana pasti membuat video klip tiap lagu yang ada di album terbarunya. Kenapa harus ada video klip, karena player sekarang memutar lagu plus dengan gambar lebih menarik dari pada suara saja. Karena itu yang di jual adalah video klip/VCD, selain buat nongol di TV lokal, penggemar bisa lihat wajah penyanyinya yang cantik, sexy dan sebagainya. Banyak yang sukses juga penyanyi cantik suara biasa saja jadi ngetop gara-gara video klipnya. Setelah mereka bikin klip, mereka masukan di TV lokal, lengkap dengan kontak show no HP, (Siapa tahu mau panggilan hajatan, maksudnya), dan acara di TV video klip itu penontonnya banyak juga lho. Mereka menyukainya, tidak puas juga dengan TV,...mereka bisa beli Discnya di pasar/bajakan, tidak puas juga, cari di youtube atau FB penyanyi, cari tahu penyanyi itu manggung di mana hari ini, di Hajatan siapa dan desa mana, datangi, dan lihat aslinya di panggung, jika suka, langsung joget bareng, sawer duit. Besoknya pantau lagi dan datang lagi ke panggung dia berikutnya,...sampai ketagihan dan ngefans berat.

Saya juga ngefans dengan Dewi Kirana...hahhahahha...saya pernah coba joget dan nyawer tanpa saya pegang kamera,...memang mengasyikan....

Jika saya boleh sharing, saya sendiri memutuskan untuk mengangkat dangdut sebagai subjek final production saya karena sifatnya yang cukup unik – ironis bahkan. Tapi seperti yang Mas Ismail tampilkan di Tarling is Darling, meskipun para gadis-gadis peformer dangdut ini tampil seksi dan kasarnya menjual tubuh dan penampilan mereka, bersentuhan dengan sedikit pornografi dan banyak hal yang dipandang negatif, mereka melakukan ini karena mereka membutuhkan pemasukan untuk menopang diri mereka dan keluarganya. Setelah melalui banyak waktu dengan industri tarling, apakah ada komentar mengenai industri ini? Apakah ada pandangan masyarakat umum tentang dangdut yang Mas Ismail tidak setujui atau malah makin terdukung? Apakah memang penampilan seksi itu yang menjamin larisnya seorang penyanyi dangdut? Bagaimana nasib penyanyi seperti istri dari Nano Romanza yang tidak ingin tampil "murahan"?

Ketika saya bilang ada Ribuan studio rekaman, penyanyi, pengusaha panggung, hajatan, video klip dan lainnya. Teman saya bilang, seharusnya Bekraf (Badan Ekonomi Kreatif) berperan, karena ini ekonomi kreatif. Mereka tidak butuh Jakarta untuk menjadi terkenal, mereka tidak butuh TV nasional. Mereka hanya bikin, dan di produksi dengan cara mereka, mereka menciptakan bintang sendiri, hasilnya cukup luas, Tv lokal, Radio Lokal, hidup,..karena lagu-lagu ini.

Dulu, Dian Record, (sebelum industri pita kaset hancur,) ada di Cirebon. Dian Record itu gede juga sekala nasional. Tarling jaya di Nasional oleh Nano Romanza dan Jaham secara nasional, pesaing Rhoma Irama bersama Dian Record. Nah, sekarang jaman disc, mereka tahu cara mempopulerkannya, tetapi dengan cara mereka.

Untuk penonton Asia, mereka tertarik dengan buadaya sawer (Film ini sangat di minati di Taiwan bahkan mereka sudah beli hak tayang untuk 7 kota), dan di Eropha mereka tertarik dengan kehidupan dan musik mereka (Film ini mendapat hadiah di Jean Rouch film festival sebagai film musikal terbaik). Beberapa penonton di Festival film, yang kebanyakan wanita, menanyakan, kenapa suara perempuan tidak berperan dalam film. Saya jawab, suara perempuan untuk level pendidikan rendah itu adalah seperti Piring pecah. Piring pecah adalah suara wanita seperti istri Jaham, walaupun Jaham bertanya, Ada Apa?, istri menjawab, Tidak ada apa-apa. Perempuan tidak pernah to the poin pada suami, tetapi pakai perumpamaan, seperti makanan asin, kopi di masukin garam, penanak nasi isinya sendal, baju suami dianyutkan sengaja di kali saat nyuci,... ini adalah suara perempuan. Mereka tidak seperti di negara maju, bahwa dialoq adalah penting. Jika pun di tanya, apa masalahnya, pasti mereka jawab,..pikirin aja sendiri....

Kalaupun ada yang bilang sexy, erotis,...itu tidak bisa di pukul rata. Tetapi film ini bicara tentang bisnis hiburan, dan ini juga terjadi di kota besar atau negara maju. Kita selalu mendengar berita skandal, dan sebagainya di kota besar dengan artis top, dalam dunia penyanyi, film dan model,..hal rayu-merayu, sexy dan sebagainya saya rasa biasa saja.

Saya juga bingung kok di kalangan mereka hal itu dibilang jorok, senonok. Tetapi budaya ini datangnya dari kota, yang mereka terapkan di desa mereka. Jaham pernah bilang..musik itu dagangan.. sekarang musimnya rok mini,...yah, rok mini,...besok celana pendek,...yah..celana pendek. Sesuai musim dan trend.

Hampir penyanyi dangdut yang ada di Jakarta, mereka sexy awalnya. Setelah duit banyak mereka mengurangi sexy-nya. Dan banyak dari mereka berasal dari daerah, karena disc/video klip bajakan, mereka sampai ke Jakarta. Dan kenapa Tarling Dangdut jarang hal itu terjadi, karena mereka sudah menikmati uangnya. Dewi Kirana saja, untuk tahun depan saja sudah fullbook, lebih dari 50 panggung, dan akan nambah lagi natinya. So, buat apa Jakarta, kalau mereka sudah sibuk. Pandangan masyarakat umum terhadap dangdut, norak, murahan,...itu hal yang wajar. Tapi bagi saya, musik mereka keren, kreatif dalam produksinya, dan norak. Norak itu ketika kita belum bisa memahaminya, tetapi bagi saya Norak itu adalah bagian dari budaya, style dangdut itu sendiri, harus norak.

Dulu, pertama kali saya membuat style film sangat estetika sekali saat shooting dangdut. Tetapi malah saya menilainya kok naif sekali saya. Itu sama saja, saya menyembunyikan sesuatu hal yang ada dan memunculkan estetika saya ke dalan film tentang budaya mereka. Dan ini akan terjadi jarak, antara onyek dan pembuat. Lalu saya berfikir, kenapa tidak saya jadikan Norak itu sesuatu hal budaya/Cultureshock atau sesuatu trend saja. Saya melihat tukang shooting video kawinan shootingnya cukup liar, dan inilah gaya pantura. Seni pantura. Lalu saya rubah style shooting saya dengan cara yang norak tapi keren, mengelitik penonton...- Karena budaya mereka memang nabrak, campur aduk. Sepatu musim dingin dipakai di negera panas dan di panggung, jaket musim dingin di pakai buat di panggung, Gaum pengantin di pakai buat nyanyi...dan sebagainya. Kadang dalam satu tubuh, kita bisa lihat, budaya Korea, jepang, Eropha dan lainnya...menjadi satu. Saya rasa itulah warna mereka. Saya menyukai sesuatu hal yang tidak penting menjadi penting. Membuat sesuatu yang tidak populer sangat penuh tantangan. Beda kalau kita membuat dengan tokoh yang sudah populer. Dangdut Tarling, kita tidak mengenal mereka dan musiknya, karena kita berjarak, masa bodoh dan lainnya. Tapi biar bagaimana pun itu adalah seni musik asli Indonesia yang berkembang sesuai dengan jaman. Saya ingin musik dangdut ini juga di setarakan dengan musik Gamelan atau keroncong, dan diajarkan dalam universitas atau Institut kesenian, artinya masuk ke dalam seni musik Indonesia.

Mungkin inilah satu-satunya film tentang Tarling dangdut, atau Film Dokumenter panjang tentang Dangdut, atau mungkin film pertama tentang Indramayu, yang di tonton masyarakat International melalui festival film International. Banyak teman saya nonton, mereka serasa mendapatkan aura film-film Indonesia jaman dulu, era Nyah Abas Akub dan lainnya.

Saya hanya membuat sajian yang enak di tonton, banyak orang sebel nonton film dokumenter karena terasa berat atau di berat-beratkan oleh pembuatnya. Saya ingin ringan, enjoy nontonnya, tetapi misinya berat. Saya tidak mau penonton berfikir banyak saat menonton, mereka bisa tertawa, sedih, bahkan shock. tetapi setelah menonton mereka merenungkannya, hingga mereka mendapatkan inspirasi dari film itu. Saya ingin memutar balik kan bahwa Dokumenter ternyata enjoy di tonton, selayaknya rasa film fiksi.

Beberapa penonton yang saya jumpai berasal dari Indramayu dan Cirebon, mereka menyukainya, dan salut. Bahkan mereka jadi ingin pulang ke kampungnya, atau mereka langsung mengatakan, seperti itulah hidup saya saat kecil di sana. Saya hanya mengangkat musik ini setinggi yang saya mampu.

Oh ya, saya juga sudah nyicil shooting adegan/peristiwa untuk film Tarling is Darling, volume 2. Apakah mungkin untuk mendapatkan izin untuk menggunakan lagu soundtrack Tarling is Darling untuk tugas akhir saya? Saya cukup terinspirasi saat mendengar lagu Tarling is Darling yang dinyanyikan oleh Dewi Kirana (lagu penutup film). Tugas akhir saya memang tidak ditujukan untuk komersil, tapi akan dieksibisikan, minimal di pameran tugas akhir universitas. Jika memungkinkan, apa saja dokumen yang harus saya penuhi? Mungkin ada royalti yang harus saya bayarkan? Sebagai mahasiswi tentu budgetnya tidak besar, jika ada kesempatan untuk kolaborasi atau alternatif lainnya, saya tunggu infonya.

Silahkan, kamu bisa menggunakannya. Dan silahkan jika kamu ingin memberikannya. Saya pernah tanya ke Dewi Kirana, apa kamu tidak pingin Jakarta. Dia bilang, sekarang saja saya sibuk banget manggung hajatan mas, gimana kalau di tambah dengan Jakarta.

Artinya mereka sudah menjadi super star di wilayah mereka. Dan radius mereka manggung hajatan itu sampai ke Jawa tengah, Jakarta, dan juga Lampung. Bahkan ke Hongkong dan Taiwan untuk TKW yang memanggil mereka untuk manggung, tentu dengan bayaran. Dewi Kirana saja satu kali manggung, itu diangka 30 Juta, saweran itu bisa mendapatkan diangka 20'an Juta, bahkan sering dapat 40 Jutaan, hanya uang saweran saja.

Artinya hidup sudah nyaman, populeritas sudah ada, Fans itu tidak henti-hentinya kirim Hasil panen ke rumahnya, mulai dari beras, ikan, dll. Kadang dia juga suka tampil di Talkshow TV Nasional kalau ada yang bahas tentang Dangdut Pantura, tetapi dia sebel, lagi-lagi yang diangkat hanya seputar sexy, dan aksi panggung. Walaupun saya yakin, Dewi Kirana tidaklah erotis di Panggung.

Ada banyak penyanyi seperti Dewi KIrana di sana, termasuk Susy Arzety, Dian Anic, dan lainnya. Jakarta saat ini, kekurangan ide dalam membuat lagu, makelar selalu datang ke daerah untuk mencari lagu dengan bayaran murah, lalu di olah dikit dan dinyanyikan oleh Artis dangdut di Jakarta. Ini yang saya kurang suka, karena mereka di bayar cuma sekira 3-5 Juta (Harga lokal), padahal di jakarta di jual bisa 10-20 Juta satu lagu.

Sebenarnya semua penyanyi daerah mengimpikan Jakarta, atau mungkin itu dulu sebelum ada sosmed. Tetapi mereka tidak tahu caranya, selalu tertipu oleh makelar Jakarta dengan iming-iming, mentok-mentok nyanyi di karoke Cafe di Jakarta. Karena hal itu, mereka membuat di daerah mereka, dan berhasil. Mereka sudah punya strateginya, produksinya, dan hasilnya VDC Bajakan beredar di sejumlah wilayah di Indonesia. Lalu booming, Jakarta dengar. Lalu datanglah tawaran dari Jakarta, untuk tampil di Jakarta dan sebagainya hingga menetap di Jakarta. Contoh paling kongkrit adalah Inul (Sidoarjo, Jawa Timur), dan Inul lah pelopor erotis di panggung.

Indramayu dengan Jawa Timuran, itu sedang berlomba sekarang. Tetapi bedanya di Indramayu mereka manggung karena ada Hajatan (Kawin, sunatan, peresmian, dll), artinya mereka sudah di bayar tukang hajatan 30 Juta (Dewi Kirana), Saweran adalah bonus. Jawa timur lain lagi, Pimpinan dengan panggung dan penyanyinya mendatangi daerah kecamatan dan membuat hiburan di sana untuk masyarat setempat. Dan Jawa Timur masih belum Industri besar seperti Indramayu. Masih beberapa group panggung saja.

Jakarta lah yang mencari mereka. Dewi Sering sekali dapat tawaran, tetapi dia tidak mau. Dan juga yang lainnya.


Ada banyak lagu bagus yang berasal dari Indramayu, termasuk yang fenomenal "Juragan Empang", saya ngerti banget lagu itu dari mana. Dan Inul sering menyanyikannya di panggung TV nasional.

47 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page